Selasa, 09 April 2013

CINTA DUNIA



Zuhud adalah lawan dari hubbud-dunyâ (cinta dunia). Keduanya merupakan dua prilaku yang bersumber dari dua pola pandang terhadap kehidupan dunia. Dan zuhud merupakan prilaku yang bersumber dari pandangan yang menembus batin dunia itu. Hubbud-dunyâ ialah keadaan bergantung pada dunia. Berbeda dengannya, zuhud adalah keadaan bebas dari dunia. Pengertian ini perlu lebih dijelaskan. dikatakan bahwa hubbud-dunyâ terkristal dalam dua keadaan berikut: gembira dan susah.[1]
Gembira, dengan apa yang didapat dari kesenangan-kesenangan dunia yang merupakan sisi positif hubbud-dunyâ. Susah, atas apa yang hilang darinya berupa kelezatan-kelezatan dan kesenangan-kesenangannya yang merupakan sisi negatif darinya. Maka karena zuhud adalah lawan dari hubbud-dunyâ, maka zuhud pada hakikatnya adalah bebas dari kegembiraan dan kesusahan duniawi itu.
Imam Ali as berkata: "Sebenamya pengertian zuhud terdapat di antara dua kata yang ada dalani Alquran, yaitu: "supaya kamu jangan berduka cita terhadap yang hilang darimu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.." Barangsiapa yang tidak rnenyesal atas yang hilang/tidak diperoleh dan tidak gembiru dangan harta yang datang, maku dialah orang zuhud."
Imam Ali as berkata: "Zuhud ialah makna yang terdapat di antara dua klause yang ada dalam Alquran ini, "supaya kamu jangan berduka cita terhadap yang hilang darimu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yatig diberikan-Nya kepadamu". Barangsiapa tidak rnenyesali benda yang telah hilang dan tidak gembira dengan benda yang datang, maka dia benar-benar telah menjalankan kedua sisi zuhud."
Imam Ali as berkata pula: "Siapa yang sedih terhadap dunia, maka dia telah marah pada keputusan Allah. Dan siapa yang hatinya bergelora dengan kecintaan padanya, maka hatinya diserang oleh tiga penyakit; kesumpekan yang tidak ahan pernah hilang, ketamakan yang tidak pernah meninggalkannya, angan-angan yang tidak pernah dijangkaunya." Ini adalah arahan untuk pembebasan manusia dari kesedihan dan kegembiraan duniawi. Jadi, sedih terhadap dunia berarti murka atas keputusan Allah, karena tidak ada suatu apa pun yang hilang dari manusia melainkan sudah diputuskan dan ditakdirkan-Nya. Hubbud-dunyâ membebani manusia dengan tiga keadaan: kesumpekan, ketamakan, dan angan-angan yang membinasakan, menyiksa dan mengalutkan manusia.[2]
Amirul Mukminm as berkata: "Wahai manusia! Ada tiga (golongan yang menyikapi) dunia. Orang zâhid, rakus dan sabar. Orang zâhid tidak akan gembira dengan dunia yang diperolehnya dan tidak susah atas sesuatu yang hilang darinya. Orang yang sabar, hatinya berharap mendapat dunia, tapi jika dia menemukannya, dia berpaling darinya karena dia tahu akibat jeleknya. Dan orang yang rakus ialah yang tidak perduli apakah dia mendapatkannya dengan jalan yang halal atau haram."
Ucapan Imam ini merupakan nash yang sangat indah dalam mendefinisikan pengertian zuhud, mengklasifikasi manusia dan kedudukan orang zuhud. Menurutnya, ada tiga macam manusia: orang yang zuhud yaitu yang bebas dari dunia, kegernbiraan dan kesusahannya. Orang yang sabar, yaitu yang belum bisa bebas total, tapi berusaha membebaskan diri dari kesenangan dan kesusahannya. Dan ketiga ialah orang tamak yang sembah sujud pada dunia, perintahnya, kegembiraan dan kesusahannya.
Menurut Al-Palimbani, dalam hal ini ia juga mengikuti Al-Ghazali, hakikat zuhud itu meninggalkan sesuatu yang dikasihi “dan berpaling darinya kepada sesuatu yang lain, yang terlebih baik darinya”. Karena itu sikap seseorang yang “meninggalkan kasih akan dunia”,  an karena menginginkan “sesuatu di dalam akhirat”, dikatakan zuhud. Tetapi tingkatan zuhud tertinggi menurut dia, ialah meninggalkan “gemar daripada tiap-tiap suatu yang lain daripada Allah, hingga engkau tinggalkan gemar daripada sesuatau yang ada didalam akhirat.[3]


Dengan demikian, pengertian zuhud ada tiga macam:
Pertama, meninggalkan sesuatu karena menginginkan sesuatu yang lebih baik darinya.
Kedua, meninggalkan keduniaan  karena mengharapakan sesuatu yang bersifat keakhiratan, dan
Ketiga, meninggalkan segala sesuatu selain Allah karena mencitai-Nya.
Mengenai orang zahid (yang hidup zuhud),  Al-Palimbani menerangkan pula tiga tingkatan yang menncerminkan proses kejiwaan seseoranghn baik dalam menempuh  kehidupan zuhud itu :
-          Pertama, zuhud “orang mubtadi (permulaan)….yang permulaan  menjalani akan jalan yang menyampaikan (kepada) makrifah akan Allah itu,” yaitu orang yang di dalam hatinya masih ada rasa kasih da cenderung kepada keduniaan, tetapi ia bersungguh-sungguh melawan hawa nafsunya.
-          Kedua, “orang yang dipertengahan jalan itu, yaitu orang yang telah mudah hatinya meninggalkan akan dunia itu”
-          Ketiga, “orang yang muntahi, yakni ‘arifin (orang-orang arif) yang bagi mereka dunia itu “seperti tahi saja” tidak ada nilainya lagi, sehingga segenap hati mereka sudah menghadap ke akhirat. 


[1] Ahmad Bahjat, hal 256. Mengenal Allah.  Bandung: Pustaka Hidayah
[2] Ahmad Bahjat, hal 106. Mengenal Allah.  Bandung: Pustaka Hidayah

[3] Muhammad Abdul Quasem,hal 173. Etika Ghazali. Bandung : Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar