Zuhud adalah lawan dari hubbud-dunyâ
(cinta dunia). Keduanya merupakan dua prilaku yang bersumber dari dua pola
pandang terhadap kehidupan dunia. Dan zuhud merupakan prilaku yang bersumber
dari pandangan yang menembus batin dunia itu. Hubbud-dunyâ ialah keadaan
bergantung pada dunia. Berbeda dengannya, zuhud adalah keadaan bebas dari
dunia. Pengertian ini perlu lebih dijelaskan. dikatakan bahwa hubbud-dunyâ
terkristal dalam dua keadaan berikut: gembira dan susah.[1]
Gembira,
dengan apa
yang didapat dari kesenangan-kesenangan dunia yang merupakan sisi positif
hubbud-dunyâ. Susah, atas
apa yang hilang darinya berupa kelezatan-kelezatan dan kesenangan-kesenangannya
yang merupakan sisi negatif darinya. Maka karena zuhud adalah lawan dari
hubbud-dunyâ, maka zuhud pada hakikatnya adalah bebas dari kegembiraan dan
kesusahan duniawi itu.
Imam Ali as berkata: "Sebenamya
pengertian zuhud terdapat di antara dua kata yang ada dalani Alquran, yaitu:
"supaya kamu jangan berduka cita terhadap yang hilang darimu dan supaya
kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.." Barangsiapa
yang tidak rnenyesal atas yang hilang/tidak diperoleh dan tidak gembiru dangan
harta yang datang, maku dialah orang zuhud."
Imam Ali as berkata: "Zuhud
ialah makna yang terdapat di antara dua klause yang ada dalam Alquran ini,
"supaya kamu jangan berduka cita terhadap yang hilang darimu, dan supaya
kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yatig diberikan-Nya kepadamu".
Barangsiapa tidak rnenyesali benda yang telah hilang dan tidak gembira dengan
benda yang datang, maka dia benar-benar telah menjalankan kedua sisi
zuhud."
Imam Ali as berkata pula:
"Siapa yang sedih terhadap dunia, maka dia telah marah pada keputusan
Allah. Dan siapa yang hatinya bergelora dengan kecintaan padanya, maka hatinya
diserang oleh tiga penyakit; kesumpekan yang tidak ahan pernah hilang,
ketamakan yang tidak pernah meninggalkannya, angan-angan yang tidak pernah
dijangkaunya." Ini adalah arahan untuk pembebasan manusia dari kesedihan
dan kegembiraan duniawi. Jadi, sedih terhadap dunia berarti murka atas
keputusan Allah, karena tidak ada suatu apa pun yang hilang dari manusia
melainkan sudah diputuskan dan ditakdirkan-Nya. Hubbud-dunyâ membebani manusia
dengan tiga keadaan: kesumpekan, ketamakan, dan angan-angan yang membinasakan,
menyiksa dan mengalutkan manusia.[2]
Amirul Mukminm as berkata:
"Wahai manusia! Ada tiga (golongan yang menyikapi) dunia. Orang zâhid,
rakus dan sabar. Orang zâhid tidak akan gembira dengan dunia yang diperolehnya
dan tidak susah atas sesuatu yang hilang darinya. Orang yang sabar, hatinya
berharap mendapat dunia, tapi jika dia menemukannya, dia berpaling darinya
karena dia tahu akibat jeleknya. Dan orang yang rakus ialah yang tidak perduli
apakah dia mendapatkannya dengan jalan yang halal atau haram."
Ucapan Imam ini merupakan nash yang
sangat indah dalam mendefinisikan pengertian zuhud, mengklasifikasi manusia dan
kedudukan orang zuhud. Menurutnya, ada tiga macam manusia: orang yang zuhud
yaitu yang bebas dari dunia, kegernbiraan dan kesusahannya. Orang yang sabar,
yaitu yang belum bisa bebas total, tapi berusaha membebaskan diri dari
kesenangan dan kesusahannya. Dan ketiga ialah orang tamak yang sembah sujud
pada dunia, perintahnya, kegembiraan dan kesusahannya.
Menurut
Al-Palimbani, dalam hal ini ia juga mengikuti Al-Ghazali, hakikat zuhud itu meninggalkan
sesuatu yang dikasihi “dan berpaling darinya kepada sesuatu yang lain, yang
terlebih baik darinya”. Karena itu sikap seseorang yang “meninggalkan kasih
akan dunia”, an karena menginginkan
“sesuatu di dalam akhirat”, dikatakan zuhud. Tetapi tingkatan zuhud tertinggi
menurut dia, ialah meninggalkan “gemar daripada tiap-tiap suatu yang lain
daripada Allah, hingga engkau tinggalkan gemar daripada sesuatau yang ada
didalam akhirat.[3]
Dengan
demikian, pengertian zuhud ada tiga macam:
Pertama,
meninggalkan sesuatu karena menginginkan sesuatu yang lebih baik darinya.
Kedua,
meninggalkan keduniaan karena
mengharapakan sesuatu yang bersifat keakhiratan, dan
Ketiga,
meninggalkan segala sesuatu selain Allah karena mencitai-Nya.
Mengenai
orang zahid (yang hidup zuhud),
Al-Palimbani menerangkan pula tiga tingkatan yang menncerminkan proses
kejiwaan seseoranghn baik dalam menempuh
kehidupan zuhud itu :
-
Pertama, zuhud “orang mubtadi
(permulaan)….yang permulaan menjalani
akan jalan yang menyampaikan (kepada) makrifah akan Allah itu,” yaitu orang
yang di dalam hatinya masih ada rasa kasih da cenderung kepada keduniaan,
tetapi ia bersungguh-sungguh melawan hawa nafsunya.
-
Kedua, “orang yang dipertengahan jalan
itu, yaitu orang yang telah mudah hatinya meninggalkan akan dunia itu”
-
Ketiga, “orang yang muntahi, yakni
‘arifin (orang-orang arif) yang bagi mereka dunia itu “seperti tahi saja” tidak
ada nilainya lagi, sehingga segenap hati mereka sudah menghadap ke
akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar