Manusia dikenal begitu tamak
terhadap harta dan berbagai kesenangan di kehidupan dunia. Kebanyakan manusia
sangat kikir untuk mengeluarkan hartanya dan enggan untuk berderma. Padahal
Allah Ta’ala berfirman :
فَاتَّقُوا
اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْراً
لِّأَنفُسِكُمْ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut
kesanggupanmu dan dengarlah serta ta’atlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik
untuk dirimu . Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka
mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS. At Taghaabun: 16)
Seharusnya seseorang tidak
terkagum-kagum dengan orang yang sangat tamak terhadap dunia dan menampakkan
padanya. Jika seseorang merasa cukup dengan apa yang ada pada manusia, dia akan
memperoleh kecintaan mereka dan manusia pun akan mencintainya. Jika sudah
demikian, maka dia akan selamat dari kejelekan mereka. Oleh karena itu, penting
untuk mengulas akhlak mahmudah, salah satunya adalah zuhud.
Zuhud
atau asetisisme (zuhd) termasuk kelompok sarana dari kebajikan sufi. Zuhud
dianggap al-Ghazali sebagai suatu maqam yang mulia (syarif) dalam menuju Allah.
Seperti halnya perhentian yang lain, zuhud juga dilukiskan tersusun dari ilmu,
pembawaan dan amal. Cirri kebajikan ini dinyatakan lebih dulu dengan
mengungkapkan makna zuhud secara umum.
Maknanya ialah mengalihkan nafsu (raghbah) dari sesuatu kepada sesuatu yang
lebih baik. Jadi ada dua unsur dalam zuhud, yakni suatu darinya nafsu dialihkan
(marghub ‘anhu) dan suatu yang kepadanya nafsu itu diapalihkan (marghub fihi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar